MAGETAN (BLOKJATIM.COM) – Masyarakat Indonesia beberapa hari terakhir hangat memperbincangkan sosok wanita hebat dari malang bernama Ira Puspadewi. Dia adalah sosok wanita hebat yang bertahun tahun berkarier di luar negeri dengan segudang prestasi.
Ketika Menteri BUMN dipegang oleh Dahlan Iskan dia dipanggil pulang untuk berkarier di dalam negeri. Batu pijakan pertama adalah menjadi salah satu direksi di Perusahaan retail legenda Sarinah. Kemudian bertahap menjadi Direktur utama PT.ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Disinilah permasalahan muncul, kebijakan beliau mengakuisisi PT Jembatan Nusantara dengan membeli sejumlah 53 kapal komersil beserta izin operasionalnya yang menurutnya bernilai 2 triliun lebih dibeli oleh PT ASDP dengan harga 1,2 Triliun. Ini murni keputusan bisnis, Indonesia adalah negara kepulauan yang masyarakatnya sangat menggantungkan hidupnya pada rute rute perintis antar pulau.
Tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai perhitungan lain. Ira dan direksi yang lain ditangkap dan didakwa dengan tuduhan mengakibatkan kerugian negara 1 triliun. Sejak 13 februari 2025 Ira dan dua koleganya ditahan dan menurut pengakuan, mereka tidak pernah diperlihatkan bukti korupsi, bahkan setelah tiga bulan dilakukan penahanan baru muncul angka kerugian negara,dan itu bukan dilakukan oleh lembaga audit resmi melainkan oleh KPK sendiri.
Mereka bertiga dijerat Undang undang Nomor 31 tahun 1999 pasal 3 “ Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabaran atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50,000.000 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.
Dari dasar hukum diatas itu lah mereka ditahan ,Ira dan kedua direksi ASDP yang lain mempertanyakan angka kerugian negara tersebut, Karena keterangan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) memperkuat bahwa akuisisi tersebut dilakukan sesuai prosedur. Angka kerugian negara yang disebutkan oleh KPK menurut keterangan Ira tidak ada ,bahkan negara diuntungkan.
Pada persidangan agenda pembacan putusan perkara nomor 68/Pid.sus-TKP/PN.Jkt.Pst menjadi momentum yang mendebarkan untuk ira, direksi yang lain serta pendukungnya. Hakim Sunoto sebagai ketua Mahkamah menyampaikan dengan nada tegas dan penuh keyakinan bahwa kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan PT ASDP Persero bukanlah Tindakan rekayasa, bukan permainan kotor, tetapi murni adalah Keputusan bisnis. Keputusan yang harus dinilai dengan kacamata professional bukan criminal.
Hakim Sunoto yang memimpin jalannya persidangan berpendapat bahwa apa yang dilakukan Ira dan Kawan Kawan merupakan Keputusan bisnis yang dilindungi. Mereka telah beritikad baik tanpa memiliki niat jahat (Mens rea) untuk merugikan negara. Mens rea adalah hal yang sangat penting untuk menentukan unsur pidananya Tetapi pendapat Hakim Sunoto tidak bisa meyakinkan dua majelis hakim lainnya sehingga ira dkk divonis dengan pidana 4 tahun 6 bulan penjara denda Rp. 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Putusan tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK yang mengajukan tuntutan 8 tajun 6 bulan penjara. Ini akan menjadi yurisprudensi di dunia peradilan di Indonesia. Putusan ini bisa berdampak terhadap dunia usaha di Indonesia khususnya Badan usaha Milik Negara atau pun Badan Usaha Milik Daerah.
Muncul rasa ketakutan kepada para Direksi BUMN maupun BUMD untuk mengambil Keputusan bisnis yang mengandung resiko meskipun Keputusan tersebut sangat diperlukan untuk perkembangan bisnis Perusahaan. Para professional professional terbaik akan berpikir berkali kali untuk menerima posisi pimpinan BUMN maupun BUMD karena mereka khawatir setiap putusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasikan.
FIAT JUSTICIA RUAT CAELUM (Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit runtuh)
PENULIS : AHMAD SETIAWAN SH.MH.CCLA Advokat dan praktisi hukum AS Law Farm dan LBH No Viral No Justice Magetan.

